Selasa, 25 Januari 2011

aliran behavioristik

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Teori belajar adalah teori yang prakmatik dan eklektik. Teori dengan sifat demikian ini hampir dipastikan tidak pernah mempunyai sifat ekstrim. Tidak ada teori belajar yang secara ekstrim memperhatikan aspek siswa saja, aspek guru saja, aspek kurikulum saja dan sebagainya.
Titik fokus yang menjadi pusat perhatian suatu teori selalu ada. Ada yang lebih mementingkan proses belajar, ada yang lebih mementingkan sistem informasi yang diolah dalam proses belajar, dan lain-lain. Namun faktor-faktor lain du luar titik fokus itu juga selalu diperlukan untuk menjelaskan seluruh persoalan belajar yang dibahas.
Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam hubungannya manusia sebagai makhluk sosial, terkandung suatu maksud bahwa manusia bagaimanapun juga tidak lepas dari individu yang lainnya. Secara kodrati manusia akan selalu hidup bersama. Hidup bersama antar manusia akan berlangsung dalam berbagai bentuk komunikasi dan situasi. Dalam kehidupan semacam inilah terjadi interaksi. Dengan demikian kegiatan hidup manusia akan selalu disertai dengan proses interaksi atau komunikasi, baik interaksi dengan alam lingkungan, interaksi dengan sesama, maupun interaksi dengan tuhannya, baik itu sengaja maupun tidak disengaja.
Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ketidak terbatasannya akal dan keinginan manusia, untuk itu perlu difahami secara benar mengenai pengertian proses dan interaksi belajar. Belajar dan mengajar adalah dua kegiatan yang tunggal tapi memang memiliki makna yang berbeda. Belajar diartikan sebagai suatu perubahan tingkah-laku karena hasil dari pengalaman yang diperoleh. Sedangkan mengajar adalah kegiatan menyediakan kondisi yang merangsang serta mangarahkan kegiatan belajar siswa/subjek belajar untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang dapat membawa perubahan serta kesadaran diri sebagai pribadi.

B. Rumusan Masalah
 Teori Behavioristik
 Tokoh-Tokoh Teori Belajar Behaviorisme
 Analisis Tentang Teori Behavioristik
 Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
C. Tujuan Pembahasan
1. Memahami ciri dan konsep ketiga teori belajar psikologi.
2. Mampu mengaplikasikan sebuah teori terhadap pembelajaran di sekolah.
3. Mengetahui bagaimana cara menerapkan teori-teori belajar dalam pendidikan.
4. Mendeskripsikan implikasi teori belajar.
5. Mengkaji implikasi dari teori-teori belajar.



BAB II
PEMBAHASAN
a. Teori Behavioristik
Secara pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinspip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar.
Teori belajar behaviorisme adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu. Behaviorisme memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perbahan perilaku organise sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional, behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan.
Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus). Ciri dari teori ini adalah
1. Mementingkan faktor lingkungan
2. Menekankan pada faktor bagian
3. Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif.
4. Bersifat mekanis
5. Mementingkan masa lalu
6. Mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil
7. Mementingkan pembentukan reaksi atau respon
8. Menekankan pentingnya latihan
9. Mementingkan mekanisme hasil belajar
10. Mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.
b. Tokoh-Tokoh Teori Belajar Behaviorisme
1. Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936)
Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia. Ia mengemukakan bahwa dengan menerapkan strategi ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
Pavlov mengadakan percobaan laboratories terhadap anjing. Dalam percobaan ini anjing di beri stimulus bersarat sehingga terjadi reaksi bersarat pada anjing. Contoh situasi percobaan tersebut pada manusia adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu tanpa disadari menyebabkan proses penandaan sesuatu terhadap bunyi-bunyian yang berbeda dari pedagang makan, bel masuk, dan antri di bank. Dari contoh tersebut diterapkan strategi Pavlo ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan. Sementara individu tidak sadar dikendalikan oleh stimulus dari luar. Belajar menurut teori ini adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat yang menimbulkan reaksi.Yang terpenting dalam belajar menurut teori ini adalah adanya latihan dan pengulangan. Kelemahan teori ini adalah belajar hanyalah terjadi secara otomatis keaktifan dan penentuan pribadi dihiraukan.
2. Thorndike (1874-1949)
Menurut Thorndike belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Thorndike menggambarkan proses belajar sebagai proses pemecahan masalah. Dalam penyelidikannya tentang proses belajar, pelajar harus diberi persoalan, dalam hal ini Thorndike melakukan eksperimen dengan sebuah puzzlebox. Eksperimen yang dilakukan adalah dengan kucing yang dimasukkan pada sangkar tertutup yang apabila pintunya dapat dibuka secara otomatis bila knop di dalam sangkar disentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori Trial dan Error. Ciri-ciri belajar dengan Trial dan Error Yaitu : adanya aktivitas, ada berbagai respon terhadap berbagai situasi, ada eliminasai terhadap berbagai respon yang salah, ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan.
Atas dasar percobaan di atas, Thorndike menemukan hukum-hukum belajar :
1) Hukum Kesiapan (Law of Readiness)
Jika suatu organisme didukung oleh kesiapan yang kuat untuk memperoleh stimulus maka pelaksanaan tingkah laku akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosaiasi cenderung diperkuat.
2) Hukum Latihan
Hukum latihan akan menyebabkan makin kuat atau makin lemah hubungan S-R. Semakin sering suatu tingkah laku dilatih atau digunakan maka asosiasi tersebut semakin kuat. Hukum ini sebenarnya tercermin dalam perkataan repetioest mater studiorum atau practice makes perfect.

3) Hukum akibat ( Efek )
Hubungan stimulus dan respon cenderung diperkuat bila akibat menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Rumusan tingkat hukum akibat adalah, bahwa suatu tindakan yang disertai hasil menyenangkan cenderung untuk dipertahankan dan pada waktu lain akan diulangi. Jadi hokum akibat menunjukkan bagaimana pengaruh hasil suatu tindakan bagi perbuatan serupa.
3. Skinner (1904-1990)
Skinner menganggap reward dan reinforcement merupakan faktor penting dalam belajar. Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal, mengontrol tingkah laku. Pada teori ini guru memberi penghargaan hadiah atau nilai tinggi sehingga anak akan lebih rajin. Teori ini juga disebut dengan operant conditioning. Operant conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku operant yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan.
Operant conditing menjamin respon terhadap stimuli. Bila tidak menunjukkan stimuli maka guru tidak dapat membimbing siswa untuk mengarahkan tingkah lakunya. Guru memiliki peran dalam mengontrol dan mengarahkan siswa dalam proses belajar sehingga tercapai tujuan yang diinginkan.
Prinsip belajar Skinners adalah :
i. Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan jika benar diberi penguat.
ii. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul.
iii. Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman.
iv. Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer.
v. dalam pembelajaran digunakan shapping.

c. Analisis Tentang Teori Behavioristik
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
a. Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
b. Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
c. Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.




d. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya.
Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu. Behaviorisme memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Manfaat dari beberapa teori belajar adalah :
1.Membantu guru untuk memahami bagaimana siswa belajar,
2.Membimbing guru untuk merancang dan merencanakan proses pembelajaran,
3.Memandu guru untuk mengelola kelas,
4.Membantu guru untuk mengevaluasi proses, perilaku guru sendiri serta hasil belajar siswa
5.yang telah dicapai,
6.Membantu proses belajar lebih efektif, efisien dan produktif,
7.Membantu guru dalam memberikan dukungan dan bantuan kepada siswa sehingga dapat
8.mencapai hasil prestasi yang maksimal.
Implikasi perkembangan teori pembelajaran sekarang sangatlah beragam. Guru dapat menerapkan menurut aliran-aliran teori tertentu. Seperti teori behavioristik dalam pembelajaran guru memperhatikan tujuan belajar, karakteristik siswa, dan sebagainya. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Teori belajar kontruktivisme berangkat dari pendapat bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh reward dan reinforcement. Menurut mereka tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada kognitif, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadimenjelaskan bahwa tingkat kejelasan dan keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan kemampuan belajar seseorang dari pada dengan hukuman dan ganjaran.
B. Saran
Pengertian, prinsip, dan perkembangan teori pembelajaran hendaknya dipahami oleh para pendidik dan diterapkan dalam dunia pendidikan dengan benar, sehingga tujuan pendidikan akan benar-benar dapat dicapai. Dengan memahami berbagai teori belajar, prinsip-prinsip pembelajaran dan pengajaran, pendidikan yang berkembang di bangsa kita niscaya akan menghasilkan output-output yang berkualitas yang mampu membentuk manusia Indonesia seutuhnya.

Rabu, 12 Januari 2011

EKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL MASYARAKAT BALI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
• Kelembagaan Desa di Bali
Bentuk Desa di Bali terutama didasarkan atas kesatuan tempat. Disamping kesatuan wilayah maka sebuah desa merupakan pula suatu kesatuan keagamaan yang ditentukan oleh suatu kompleks pura desa yang disebut Kahyangan Tiga, ialah Pura Puseh, Pura Bale Agung dan Pura Dalem. Ada kalanya Pura Puseh dan Pura Bale Agung dijadikan satu dan disebut Pura Desa (Baliaga, 2000). Dengan diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979, di Bali dikenal adanya dua pengertian desa. Pertama, 'desa' dalam pengertian hukum nasional, sesuai dengan batasan yang tersirat dan tersurat dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan
desa. Desa dalam pengertian ini melaksanakan berbagai kegiatan administrasi pemerintahan atau kedinasan sehingga dikenal dengan istilah 'Desa Dinas' atau 'Desa Administratif'. Desa dalam pengertian yang kedua, yaitu desa adat atau Desa Pakraman, mengacu kepada kelompok tradisional dengan dasar ikatan adat istiadat dan terikat oleh adanya tiga pura utama (Kahyangan Tiga). Dasar pembentukan desa adat dan desa dinas memiliki persyaratan yang berbeda, sehingga wilayah dan jumlah penduduk pendukung sebuah desa dinas tidak selalu kongruen dengan desa adat. Secara historis belum diketahui kapan dan bagaimana proses awal terbentuknya desa adat di Bali. Ada yang menduga bahwa desa adat telah ada di Bali sejak zaman neolitikum dalam zaman prasejarah. Desa adat mempunyai identitas unsur-unsur sebagai persekutuan masyarakat hukum adat, serta mempunyai beberapa ciri khas yang
membedakannya dengan kelompok sosial lain. Ciri pembeda tersebut antara lain adanya wilayah tertentu yang mempunyai batas-batas yang jelas, dimana sebagian besar warganya berdomisili di wilayah tersebut dan adanya bangunan suci milik desa adat berupa kahyangan tiga atau kahyangan desa (Dharmayuda, 2001).
Eksistensi Desa adat di Bali diakui oleh pasal 18 UUD 1945 dan dikukuhkan oleh Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 6 Tahun 1986, yang mengatur tentang kedudukan,fungsi dan peranan Desa adat sebagai kesatuan masyarakat Hukum Adat di PropinsiDaerah Bali. Kelembagaan Desa adat bersifat permanen dilandasi oleh Tri Hita Karana.
Pengertian Desa adat mencakup dua hal, yaitu : (1) Desa adatnya sendiri sebagai suatu wadah, dan (2) adat istiadatnya sebagai isi dari wadah tersebut. Desa adat merupakan suatu lembaga tradisional yang mewadahi kegiatan sosial, budaya dan keagamaan masyarakat umat Hindu di Bali. Desa adat dilandasi oleh Tri Hita Karana, yaitu :
(1) Parahyangan (mewujudkan hubungan manusia dengan pencipta-Nya yaitu Hyang Widhi Wasa),
(2) Pelemahan (mewujudkan hubungan manusia dengan alam lingkungan tempat tinggalnya), dan
(3) Pawongan (mewujudkan hubungan antara sesama manusia, sebagai
makhluk ciptaan-Nya) (Dharmayuda, 2001).

• Marginalisasi Desa : Dualisme Desa adat dan Desa Dinas
Marginalisasi desa adat di Bali dimulai masuknya kekuasaan pemerintah Hindia Belanda ke Bali Selatan (1906-1908) menggantikan posisi kerajaan atas desa-desa di Bali. Dalam penyelenggaraan pemerintahan di Bali, pemerintahan kolonial Belanda menerapkan dua sistem pemerintahan; sistem pemerintahan langsung di bawah Belanda dan sistem pemerintahan sendiri oleh raja-raja yang disebut dengan daerah swapraja.
Dalam penyelengaraan pemerintahan, Pemerintah Belanda memanfaatkan Perbekel sebagai wakilnya untuk mengawasi keadaan di desa. Dengan Perbekel yang diangkat sendiri, Belanda membangun suatu lembaga administrasi di tingkat desa dengan membentuk desa baru bentukan pemerintah kolonial. Dengan desa yang baru diharapkan didalamnya akan terdapat 200 orang penduduk desa yang siap menjalankan tugas-tugas
rodi (Desaadat, 2003). Dengan demikian muncul dualisme desa yaitu desa adat dan desa dinas. Urusan agama dan adat dipegang oleh desa adat, sedangkan urusan administrasi pemeintahan dilakukan oleh desa dinas. Fungsi desa dinas adalah dalam lapangan pemerintahan umum, kecuali adat dan agama, sedangkan pengairan/ pertanian dikelola oleh Subak. Dengan demikian desa dinas dapat juga dianggap sebagai desa administrative dalam arti tertentu, karena tugasnya sekedar melaksanakan urusan administrasi pemerintahan.
Kerangka paradigmatik pengaturan politik oleh negara kolonial Belanda
dilanjutkan oleh UU No. 5 Tahun 1979 yang dapat dilihat dari dua tataran. Pertama, penerusan politik dualisme desa dimana pengaturan politik yang dibangun Negara memungkinkan tetap terjadinya dualisme pengertian desa di Bali yakni desa dinas (Keperbekelan) dan desa adat (Desa Pakraman). Desa dinas dijadikan desa yang menjadi perangkat pemerintahan terendah dan langsung di bawah camat. Sedangkan desa
pakraman tetap mendapatkan pengakuan lewat pasal 18 UUD 45.


• Desa adat Pasca UU No. 22 Tahun 1999
Bergulirnya era otonomi daerah, menimbulkan pergeseran paradigma dalam melihat desa adat. Pergeseran itu terlihat dari beberapa kasus :
1) Dikeluarkannya Perda tentang Desa Pekraman tahun 2001 yang terkesan lebih aspiratif, memperkuat dan menghargai eksistensi desa adat di Bali, sebagai pengganti Perda No. 6/1986 yang sebelumnya mengatur tentang Desa adat;
2) Adanya sejumlah konsensi ekonomi yang diberikan pemerintah Propinsi dan Kabupaten kepada desa adat, seperti Pemerintah Propinsi Bali memberikan sepeda motor pada Bendesa Adat, dan Pemerintah Kabupaten Tabanan mengikutsertakan Desa Adat Beraban dalam mengelola obyek wisata Tanah Lot, dan memberi 35 % keuntungan pada Desa Adat Beraban;
3) Desa adat diikutsertakan dalam proses pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari di tingkat desa, misalnya ijin investasi harus mendapatkan persetujuan desa adat, dan setiap pendatang harus mendapatkan rekomendasi dari desa dinas dan desa adat.







1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa sajakah yang menjadi masalah mendasar yang
dihadapi oleh desa adat di Bali ?
2. Memperhatikan permasalahan yang dihadapi Desa Adat, maka
bagaimanakah cara untuk mengatasi permasalahan tersebut ?


1.3 TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui kapan dan bagaimana proses awal ( Eksistensi ) terbentuknya Desa Adat Dan Kelembagaan Lokal Masyarakat Bali.

























BAB II
PEMBAHASAN
1. Masalah mendasar yang dihadapi oleh desa adat
di Bali, seperti masalah otonomi desa adat dan demokratisasi adat. Berkaitan dengan otonomi desa adat, permasalahan yang dihadapi adalah : (1) Dualisme pemerintah desa,
(2) Belum jelasnya tata hubungan Kabupaten-Desa Adat,
(3) Dualisme hukum dengan adanya pengakuan desa adat sebagai entitas hukum,
(4) Munculnya konflik antar desa adat menyangkut batas wilayah dan soal tanah-tanah adapt, dimana intervensi pemerintah yang tidak tepat menimbulkan eskalasi konflik,
(5) Penyeragaman awig-awig
(hukum dan atau peraturan adat) yang difasilitasi oleh pemerintah dengan format yang baku dan seragam membuat format desa di Bali menjadi homogen, dan
(5) Penggunaan pecalang (Satuan petugas keamanan swakarsa adat) untuk kepentingan ekonomi dan politik, seperti menjadi penjual jasa keamanan maupun untuk kepentingan politik (Satgas Partai).
2. Memperhatikan permasalahan yang dihadapi Desa adat seperti diungkapkan di atas, maka beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan dan memberdayakan Desa Adat. Penguatan otonomi Desa adat melalui :
(a) Rekonseptualisasi hubungan desa adat dan desa dinas,
(b) Rekonseptualisasi hubungan desa adat dengan Kabupaten
(c) Pengakuan Hukum dan Pengadilan Adat,
(d) Mekanisme penyelesaikan konflik antar desa adat melalui pembentuk lembaga supra desa adat,
(e) Politik kebudayaan yang menghargai keunikan setiap desa adat (desa mawa cara) tetapi ada beberapa yang diatur sama untuk menjamin kepastian seperti masalah pendatang, dan
(f) Reformulasi dan rekonseptualisasi Pecalang.
Pemberdayaan Desa adat melalui :
(a) Peningkatan kapasitas kelembagaan desa adat,
(b) Demokratisasi desa adat,
(c) Semangat pluralisme di desa adat yang tercermin di awig-awig,
(d) Penerapan good governance di desa adat, dan
(e) Mekanisme penyelesaian konflik yang humanis.











BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Dari pembahasan kelembagaan desa dan masyarakat Bali di atas, dapat ditarik beberapa pelajaran, yaitu :
1) Masyarakat Bali sangat kuat memelihara dan menjalankan adat-istiadat yang dijiwai oleh ajaran agama Hindu, dan hal ini merupakan salah satu modal sosial yang kuat untuk membangun desa secara berkelanjutan.
2) Kelembagaan Desa Adat mampu bertahan dari intervensi yang dilakukan pemerintah dengan melakukan kompromi dan penyesuaian, meskipun ada dualisme antara Desa Adat dan Desa Dinas. Namun dari segi keterikatan masyarakatnya, Desa Adat lebih memiliki keterikatan emosional dengan warganya dibandingkan dengan Desa Dinas yang hanya menjalankan fungsi administratif.


3.2 SARAN – SARAN
Masyarakat Bali harus kuat memelihara dan menjalankan adat-istiadat, sehingga Kelembagaan Desa Adat mampu bertahan meskipun ada dualisme antara Desa Adat dan Desa Dinas.

Senin, 10 Januari 2011

banyaknya anak putus sekolah

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada masa seperti sekarang ini pendidikan merupakan suatu kebutuhan primer, dimana dalam memasuki era globalisasi seperti sekarang ini pendidikan sangatlah penting peranannya. Orang-orang berlomba untuk dapat mengenyam pendidikan setinggi mungkin untuk mengejar teknologi yang semakin canggih. Tetapi disisi lain ada sebagian masyarakat tidak dapat mengenyam pendidikan secara layak, baik dari strata tingkat dasar sampai jenjang yang lebih tinggi. Selain itu juga ada sebagian masyarakat yang sudah dapat mengenyam pendidikan dasar namun pada akhinya putus sekolah juga. Ada banyak faktor yang menyebabkan masyarakat tidak dapat mengenyam pendidikan atau yang putus sekolah seperti diantaranya keterbatasan dana pendidikan karena kesulitan ekonomi, kurangnya niat seseorang individu untuk mengenyam pendidikan, kurangnya fasilitas pendidikan di daerah terpencil atau daerah tertinggal dan selain itu karena adanya faktor lingkungan ( pergaulan ).
Seperti yang dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada salah satu butir yang tercantum disana dijelaskan bahwa adanya pencerdasan kehidupan bangsa, jadi bagaimana sekarang sikap pemerintah dan masyarakat harus dapat menyikapi hal tesebut, karena secara tidak langsung orang yang tidak menyenyam pendidikan formal akan dekat dengan kebodohan dan kemiskinan. Dampak kemiskinan itu terjadi karena daya nalar orang dan mental orang yang tidak perpendidikan sangatlah berbeda dengan orang yang berpendidikan. Jangankan untuk mencari atau melamar pekerjaan untuk membaca dan menulis saja mereka kesulitan. Dan dari sisi mental mereka yang tidak mengenyam pendidikan akan merasa malu dan minder untuk berkompetisi dengan orang yang mengenyam pendidikan. Pada akhirnya mereka akan tersisih karena ketrbatasan mereka tersebut.
Jadi secara garis besar pendidikan itu sangat penting untuk menunjang karir dan cita-cita di masa depan. Selain itu juga dapat merubah pola atau karakter hidup didalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

1.2 Rumusan Masalah
Sesuai dengan apa yang telah dijelaskan di atas, bahwa pendidikan sangatlah penting guna menghadapi perkembangan zaman yang terjadi saat ini. Oleh karena itu, dapat kita ketahui beberapa masalah yang kini muncul antara lain :
1. Apa penyebab adanya anak yang putus sekolah ?
2. Apa upaya pemerintah untuk menekan jumlah anak yang putus sekolah ?

1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini tidak lain adalah :
1. Mendeskrifsikan penyebab adanya anak putus sekolah.
2. Mendeskrifsikan upaya pemerintah untuk menekan jumlah anak putus sekolah.





BAB II
PEMBAHASAN
Untuk sedikit membuka kesadaran kita, ada baiknya kita mengetahui dan belajar dari Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang disertai dengan mengupas realita. Undang-undang mengatakan bahwa warga negara yang berumur 6 tahun berhak mengikuti pendidikan dasar. Sedangkan warga negara yang berumur 7 tahun berkewajiban untuk mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara sampai tamat. Pendidikan dasar merupakan pendidikan yang lamanya 9 tahun yang diselenggarakan selama 6 tahun di SD dan 3 tahun di SLTP atau sederajat. Pasal 6 ( 1 ) disebutkan, setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, 2 ( a ) disebutkan, bahwa setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.
Seperti yang dijabarkan diatas , pendidikan merupakan hak yang sangat fundamental bagi anak. Hak yang wajib dipenuhi dengan kerjasama paling tidak dari orang tua siswa, lembaga pendidikan dan pemerintah. Pendidikan akan mampu terealisasi jika semua komponen yaitu orang tua, lembaga pendidikan dan pemerintah bersedia menunjang jalannya pendidikan.
Namun tidaklah mudah untuk merealisasikan pendidikan, khususnya menuntaskan wajib belajar 9 tahun. Banyak faktor yang menjadi kendala agar pendidikan dapat terealisasikan. Seperti misalnya saja dari faktor orang tua, tidak semua orang tua mau menyerahkan anaknya untuk bersekolah. Mayoritas dari mereka berasal dari keluarga kurang mampu sehingga tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai pendidikan putra-putrinya di sekolah formal. Faktor yang lainnya yaitu faktor lembaga pendidikan yang menyediakan sarana dan prasarana pendidikan. Dengan menyediakan fasilitas yang memadai tentu akan menimbulkan adanya biaya. Beban inilah yang harus dibayar oleh orang tua. Tentu tidak mudah bagi para orang tua siswa yang tergolong ekonomi menengah ke bawah untuk membayar biaya tersebut.
Disamping itu, faktor dari pemerintah untuk mewujudkan pendidikan juga sangat berpengaruh. Pemerintahlah yang berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan ditambah dengan adanya bantuan dari berbagai pihak. Melalui program-programnya seharusnya pemerintah mampu memberdayakan semua elemen pendidikan. Misalnya program yang telah digulirkan pemerintah sebelumnya seperti Gerakan Orang Tua Asuh ( GN-OTA ) yang berdiri pada tanggal 29 Mei 1996 dimana berfungsi untuk meningkatkan kualitas anak sebagai aset penerus bangsa disamping meminimalkan kemiskinan secara komprehensif dan menyeluruh, juga memiliki misi mengembangkan dan meningkatkan kesadaran serta tanggung jawab masyarakat terhadap masa depan anak bangsa. Peranan GN-OTA ini dalam Prokesra MPMK dapat dibagi menjadi dua. Pertama adalah menuntaskan keluarga pra-sejahtera dan keluaraga sejahtera. Sedangkan yang kedua adalah pemberdayaan keluarga masa depan. Untuk memaksimalkan fungsinya diperlukan kerja keras untuk menyelamatkan generasi penerus bangsa dari ancaman putus sekolah.
Namun kebijakan pemerintah melalui GN-OTA untuk mengatasi siswa yang tidak tertampung di sekolah masih jauh dari yang diharapkan sebelumnya. Walaupun pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan ini, tetapi masalah anak yang putus sekolah tidak dapat diselesaikan juga. Program terbaru yang dikeluarkan untuk mengurangi masalah anak yang putus sekolah adalah BOS ( Bantuan Operasional Sekolah ). Bantuan Operasional Sekolah ( BOS ) ini adalah program bantuan pembiayaan pendidikan. Yangmana pemanfaatannya adalah untuk mengurangi biaya pendidikan yang dikeluarkan para siswa.
Walaupun pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan ini, tapi masalah yang dihadapi mengenai banyaknya anak yang putus sekolah takdapat diselesaikan juga. Di Bali sendiri, kebijakan ini sudah direalisasikan Sebelumnya Bali boleh berbangga karena belakangan ini mulai ikut berbicara di kancah ilmu pengetahuan melalui sejumlah keberhasilan yang diraih siswa sekolah. Misalnya dalam olimpiade fisika dan lainnya. Akan tetapi, itu tidak menghapus realitas bahwa Bali masih menyimpan angka putus sekolah walaupun kebijakan pemerintah mengenai dana Bantuan Operasional Sekolah ( BOS ) sudah direalisasikan. Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan ( Disdik ) Propinsi Bali, sekolah ( SD, SMP, SMA/SMK ) yang terdaftar di Bali tercatat sebanyak 3.184 sekolah yang tersebar. Berikut data sekolah yang tersebar di berbagai daerah di bali


Daftar Sekolah yang tersebar di Bali

No Nama Kota/Kab. SD SLTP SLTA PT Lain-lain Total
1 Kab. Buleleng 515 77 54 5 2 653
2 Kab. Jembrana 196 31 26 1 1 255
3 Kab. Tabanan 337 41 28 3 - 409
4 Kab. Badung 265 42 31 4 2 344
5 Kab. Gianyar 290 45 40 1 1 377
6 Kab. Klungkung 144 22 15 - - 181
7 Kab. Bangli 163 24 15 - 1 203
8 Kab. Karang Asem 364 36 24 1 - 425
9 Kota Denpasar 210 49 51 25 2 337
TOTAL 2.484 367 284 40 9 3.184
Data : 2005/2006
Sedangkan data angka putus sekolah ( mulai jenjang pendidikan SD, SMP hingga SMA/SMK ) di Bali pada tahun 2005-2006 yang didapat dari Dinas Pendidikan ( Disdik ) Propinsi Bali mencapai 1.686 orang yang tersebar di berbagai daerah di Bali. Sekalipun angka ini menurun dari tahun 2004-2005 yang tercatat 1.879 orang. Berikut data anak yang putus sekolah yang tersebar di berbagai daerah di Bali
Daftar anak yang putus sekolah di bali

No Nama Kota/Kab. Jumlah anak yang putus sekolah
1 Kab. Buleleng 482 orang
2 Kab. Jembrana 213 orang
3 Kab. Tabanan 133 orang
4 Kab. Badung 83 orang
5 Kab. Gianyar 115 orang
6 Kab. Klungkung 66 orang
7 Kab. Bangli 151 orang
8 Kab. Karang Asem 368 orang
9 Kota Denpasar 75 orang
TOTAL 1.686 orang
data 2005-2006
Data anak putus sekolah per_tingkat di Bali


No Tingkat Jumlah
1 SD 704 orang
2 SLTP 431orang
3 SLTA 359 orang
4 SMK 192 orang
Jumlah 1.686 orang
data 2005/2005


Dari data diatas membuktikan bahwa masih ada anak yang putus sekolah di Bali yang tersebar di berbagai daerah di Bali.
2.1 PenyebabAnak Putus Sekolah
Faktor yang menjadi penyebab anak mengalami putus sekolah adalah faktor Internal yang berasal dari dalam diri anak putus sekolah disebabkan kaena malas untuk pergi sekolah karena merasa minder, tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekolahnya, sering dicemoohkan karena tidak mampu membayar kewajiban biaya sekolah .Ketidak mampuan ekonomi keluarga dalam menopang biaya pendidikan yang berdampak terhadap masalah psikologi anak sehingga anak tidak bisa bersosialisasi dengan baik dalam pergaulan dengan teman sekolahnya selain itu adalah karena pengaruh teman sehingga ikut-ikutan diajak bermain seperti play stasion sampai akhirnya sering membolos dan tidak naik kelas , prestasi di sekolah menurun dan malu pergi kembali ke sekolah. Anak yang kena sanksi karena mangkir sekolah sehingga kena Droup Out.

Faktor Eksternal adalah faktor yang berasal dari luar anak seperti keadaan status ekonomi keluarga.Dalam keluarga miskin cenderung timbul berbagai masalah yang berkaitan dengan pembiayaan hidup anak, sehingga anak sering dilibatkan untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sehingga merasa terbebani dengan masalah ekonomi ini sehingga mengganggu kegiatan belajar dan kesulitan mengikuti pelajaran.

Kurangnya perhatian orang tua cenderung akan menimbulkan berbagai masalah. Makin besar anak maka perhatian orang tua makin diperlukan , dengan cara dan variasi dan sesuai kemampuan. Kenakalan anak adalah salah satu penyebabnya adalah kurangnya perhatian orang tua. Hubungan keluarga tidak harmonis dapat berupa perceraian orang tua, hubungan antar keluarga tidak saling peduli, keadaan ini merupakan dasar anak mengalami permasalahan yang serius dan hambatan dalam pendidikannya sehingga mengakibatkan anak mengalami putus sekolah.
Selain Permasalahan diatas ada faktor penting dalam keluarga yang bisa mengakibatkan anak putus sekolah yaitu keadaan ekonomi keluarga , latar belakang pendidikan ayah dan ibu, status ayah dalam masyarakat dan dalam pekerjaan, hubungan sosial psikologis antara orang tua dan antara anak dengan orang. Aspirasi orang tua tentang pendidikan anak, serta kurang perhatiannya terhadap kegiatan belajar anak.

Selain itu besarnya keluarga dengan jumlah keluarga yang banyak serta orang –orang yang berperan dalam keluarga. Merupakan masalah yang sangat mempengaruhi anak sehingga mengalami putus sekolah Akibat yang disebabkan anak putus sekolah adalah kenakalan remaja, tawuran , kebut-kebutan di jalan raya , minum – minuman dan perkelahian .Hal ini apabila tidak segera mendapat perhatian dan penanganan secara serius bisa merebak ketindakan kriminal lainnya yang akan merusak generasi bangsa.


2.2 Upaya Pemerintah untuk Menekan Jumlah Anak Putus Sekolah
Persoalan putus sekolah di Bali cukup membuat kita miris. Data Dinas Pendidikan Propinsi Bali menyebutkan, ratusan ribu pelajar di Bali dihantui putus sekolah. Angka yang disebut adalah 1.686 anak usia sekolah usia antara 6-18 tahun. Mereka berasal dari keluarga miskin. Anak usia sekolah dari keluarga miskin inilah yang potensial hengkang dari bangku sekolah sebelum mengantongi ijazah. Hal ini disebabkan keluarga miskin tidak mampu membiayai pendidikan yang menurutnya memberatkan. Di samping itu, cara pandang yang kurang poisitif terhadap arti pendidikan bagi kehidupan masih terdapat pada beberapa keluarga dan masyarakat miskin yang pada umumnya berpendidikan rendah. Masih ada anggapan sementara penduduk bahwa pendidikan tidak akan menjamin perbaikan taraf hidup. Hal itu berakibat mereka enggan menyekolahkan anaknya. Di samping itu terdapat kenyataan bahwa akibat sosial ekonomi yang miskin akan mendorong anak usia sekolah SD dan SLTP terpaksa bekerja membantu kehidupan keluarga. Untuk daerah terpencil terhambat adanya perhubungan yang terbatas sehingga masyarakatnya sukar dijangkau pelayanan pendidikan.
Melihat tingginya angka putus sekolah tersebut pihak Dinas Pendidikan Propinsi Bali menggulirkan berbagai program strategis guna menekan angka pelajar putus sekolah tersebut serendah mungkin. Paling tidak program tersebut ditujukan untuk mengupayakan anak usia sekolah di Bali mengecap pendidikan formal hingga lulus SMP atau menuntaskan wajib belajar 9 tahun. Di antara program strategis yang digulirkan untuk mencegah pelajar putus sekolah adalah pemberian beasiswa bagi anak miskin. Pasalnya, kemiskinan atau ketiadaan biaya merupakan faktor dominan yang menyebabkan ribuan pelajar di Bali ini putus sekolah. Program lainnya adalah dengan program SD-SMP satu atap. Dengan menjadikan SD dan SMP satu atap diharapkan akan dapat menanggulangi faktor jarak tempuh yang juga menjadi faktor penyebab putus sekolah. Dengan program ini biaya transportasi, pemondokan dan akomodasi menjadi terpotong, sehingga lebih menarik minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya. Anggaran untuk membangun ruang-ruang kelas baru pada sekolah satu atap ini pun sudah disiapkan. Pemprop Bali mengalokasikan anggaran Rp 2,47 milyar lebih untuk membangun ruang-ruang kelas baru di sekolah satu atap yang diprioritaskan pada daerah-daerah yang terisolasi.
Masyarakat, khususnya keluarga miskin, tentu mengharapkan program strategis pemerintah daerah di bidang pendidikan ini terealisasi secara ideal. Karena dengan demikian Bali sudah melakukan investasi SDM minimal yang berpendidikan dasar. Proses belajar-mengajar juga harus menjadi perhatian. Menciptakan proses belajar-mengajar yang nyaman dan lancar bagi siswa miskin memang tidak mudah. Intinya adalah harus ada kesadaran pembelajaran semua komponen yang terlibat di dalam proses pendidikan itu. Teristimewa guru dan manajemen sekolah disamping pemerintah. Merekalah ujung tombak yang dituntut memiliki visi dan orientasi lebih besar dalam ”kerja besar” menanggulangi masalah putus sekolah ini. Sedangkan masyarakat (orangtua murid) dan siswa terutama yang miskin adalah pihak yang harus dirangkul karena mereka berpotensi rentan hengkang dari program pendidikan ini dengan berbagai alasan.
Tumbuhnya kesadaran keluarga miskin untuk menyerahkan anaknya ke sekolah harus dilihat sebagai poin penting dalam upaya penanggulangan putus sekolah. Di balik itu harus disadari peliknya persoalan yang dihadapi masyarakat. Tidak hanya faktor kemiskinan, ekonomi dan biaya. Banyak sensitivitas lain yang perlu diselami, sebagai dampak dari kemiskinan itu. Rasa rendah diri, kemalasan, kurangnya wawasan soal pentingnya pendidikan, hambatan komunikasi dengan dunia sekolah, dan lain-lain, menuntut perhatian besar kita. Harus dilihat realitas di lapangan apa adanya. Di daerah yang masyarakatnya miskin atau kurang pemahaman soal pentingnya pendidikan, pekerjaan menuntaskan wajib belajar tentu tidak mudah. Jangan berharap input SDM yang secara mental siap dididik. Yang bebal pun harus diterima. Poin pentingnya adalah bagaimana menjadikan anak yang potensial terpinggirkan dari dunia sekolah menjadi terangkul dalam pendidikan. Bukan justru menjadikan potensi-potensi itu tambah terlempar, menjadi ketakutan sekolah dan memperbesar jumlah putus sekolah. Misalnya, akibat menjadi sasaran kemarahan dan cercaan guru sebagai anak bodoh, atau bahkan jadi sasaran penganiayaan pendidik yang kesal.






BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan adanya keseriusan dan kesigapan dari pemerintah dengan cara mengeluarkan kebijakan-kebijakan seperti halnya kebijakan dana bantuan Operasional Sekolah ( BOS ) untuk mengurangi jumlah anak yang putus sekolah, maka angka anak yang putus sekolah di Bali akan dapat di tekan. Disamping itu peranan dari pihak sekolah beserta dengan orang tua dalam menekan jumlah anak yang putus sekolah juga sangat diperlukan dan berpengaruh akan jumlah anak yang akan putus sekkolah.
3.2 Saran
Sangat diperlukan sekali kesadaran dan kepedulian dari berbagai kalangan baik dari pemerintah, pihak sekolah maupun para orang tua. Dimana kesemuanya ( pemerintah, pihak sekolah, orang tua ) sangat berpengaruh terhadap jumlah anak yang akan putus sekolah.